Minggu, 28 Juni 2009
Kostum Baru Manchester United
Sebentar lagi pada bulan Juli ini klub Manchester United akan datang ke Jakarta. Dikabarkan bahwa pada saat pertandingan di Jakarta mereka sudah memakai kostum baru mereka. Menurut sumber di United kostum baru tersebut untuk mengenang kembali kostum United tahun 1909-1910, pada saat pertama kali kandang kebanggaan MU, Old Trafford dibuka. Kostum baru ini justru diprotes fans sendiri. Corak “V” dari appareal Nike membuat seragam itu lebih mirip tim rugby. Inilah bentuk kostum baru United.
Bola voli
voliunhas.co.cc/index.php?option=com...view..
Sejarah Bola Voli
voliunhas.co.cc/index.php?option=com...view..
Barcelona versus Manchester United, Seniman Lawan Arsitek
Pada usia delapan, Messi kecil direkrut sang ayah bergabung dengan klub sepakbola miliknya, Grandoli. Aura bakatnya kemudian mengantar Lionel alias Leo masuk klub terkemuka kota Rosario, Newell’s Old Boys pada usia sebelas.
Aksinya mulai mendulang decak kagum bersamaan dengan diagnosa medis yang memvonis dirinya mengidap defisiensi hormon pertumbuhan yang harus ditangani dengan sangat serius atau berhenti mencoba prospek di sepakbola.
Sayangnya klub tersebut akhirnya dengan berat hati melepas Leo ke tangan raksasa FC Barcelona, karena tak sanggup membiayai terapi hormon Lionel yang menghambat pertumbuhan tinggi badan sang bocah.
Pada usia duabelas Jorge dan keluarga Messi hijrah ke Barcelona, ibukota orang-orang Katalunya yang indah dan semerbak aroma setiap ruang yang ditinggalkan gadis-gadisnya.
Setelah terapi atas Leo berhasil, bocah dengan tinggi 169 cm itu lalu bergabung ke Barcelona B dan mulai merintis daya sihir bola dari kedua kaki, kepala dan seluruh gestur tubuhnya. Seperti mendiang Stevie Ray Vaughan, gitaris blues yang dikagumi semua musikus prestisius papan atas, katakan Miles Davies, BB King, Eric Clapton dan Bono. ”Nada dan harmoni mengalir, dan menyatu dalam nafas dan darahnya”, komentar gitaris blues legendaris Buddy Guy.
Seperti itulah Leo, menurut Maradona, dan bahkan kata Cristiano Ronaldo dengan sportif, seterunya yang akan dihadapinya dinihari nanti.
Aktor Hollywood asal Malaga yang juga penggemar berat sepakbola, Antonio Banderas, hanya dapat termanggu menonton kesebelasan Barca menggilas Sevilla dari boks Direktur Nou Camp.
”Saya rasa kali ini Barcelona tak dapat dihentikan oleh siapapun, mereka akan meraih tiga trofi tahun ini. Termasuk kampiun Eropa”, komentar Banderas meyakinkan. Kali ini entah bagian dari akting, atau memang kagum sebagai sesama berdarah Spanyol.
Seperti pejuang-pejuang Catalan lain yang mungkin turun dalam starting 11, macam Viktor Valdez, Carles Puyol, Yaya Toure, Andres Iniesta, Thierry Henry, Etoo dan tentunya Xavi Hernandes, mereka semua mewakili darah sepakbola dalam nadinya.
Mereka terlahir dalam jiwa the art of soccer. Mereka adalah seniman-seniman bola yang ditakdirkan untuk memberi hiburan dengan H besar pada masyarakat yang mungkin melihat perang ini sebagai bentuk lain dari neo-gladiator yang bertarung untuk sebentuk kejayaan di tanah lapang Olimpico de Roma, di hadapan 82.700 penonton dan ratusan juta pasang mata di depan layar kaca.
Di arena yang menjanjikan supremasi sepakbola Eropa itulah petarung-petarung bola dari negeri yang lembab, tanah orang-orang Anglo-Saxon, dari Kerajaan Inggris Raya, hadir menantang kecanggihan anak-anak Barcelona menggoreng dan menggocek habis si kulit bundar.
Di bawah komando Alex Ferguson, panglima veteran Piala Champions, mereka datang untuk mempertahankan hegemoni sepakbola Eropa tahun silam yang mereka genggam erat-erat.
Bek kiri United, Patrice Latyr Evra, pagi-pagi sudah merentangkan kapak perang dan siap berkalang tanah ketimbang membiarkan Messi, Xavi dan Iniesta dan kawan-kawannya memasuki wilayah kesebelasannya.
Di klub makmur seperti Manchester United, seni sepakbola modern diterjemahkan ke dalam pola yang diracik dengan teliti oleh sang godfather, Fergie, begitu dia disapa.
Mereka eksis karena Fergie, berhasil menggembleng orang-orang macam David Beckham, Eric Cantona, Paul Scholes, Steve Bruce, Peter Schemeikel, Solsjaer, Giggs, dan tentu angkatan Ronaldo seperti Wayne Rooney, Michael Carrick, Park Ji-Sung, Dimitar Berbatov, Evra, Nemenja Vidic, Rio Ferdinand dan tentu si gaek Edwin Van der Sar, menjadi petarung yang mengerti sekaligus seni bola dan membaca siasat yang dirancang sang arsitek Fergie.
Selain Liverpool, Arsenal dan juga (coba) dilakukan Totenham Hotspur, maka hanya Manchester United yang sungguh-sungguh berhasil memadukan power khas sepakbola Inggris dengan sentuhan satu-dua apabila dibutuhkan, untuk membalas serangan bertubi-tubi lawan.
Fergie berjanji akan menghamparkan bagaimana sepakbola indah yang taktis disajikan untuk menjinakkan seni sepakbola Barcelona yang telah merebut hati dunia. ”Final nanti akan menghasilkan banyak gol” katanya tanpa merinci siapa yang menang.
Sehingga pantaslah jika clash dua raksasa ini, disetarakan dengan pertempuran seniman bola Belanda versus arsitek-arsitek bola Jerman Barat (secara nasional) pada final Piala Dunia 1974. Atau perang Brasil melawan Denmark dalam perdelapan Piala Dunia 1998 di Perancis. Atau final Piala Eropa 1988 antara Belanda versus Uni Soviet, yang semuanya sungguh-sungguh memanjakan mata dan membahagiakan langsung penonton di stadion dan ratusan juta di layar kaca global.
Kompetisi atau kejuaraan memang terpaksa membuat para peracik dan arsitek di belakang layar meramu taktik dan strategi untuk menjadi juara. Namun apalagi yang harus diracik jika kedua finalis sudah berada di partai puncak.
Mereka wajib mempertontonkan sepakbola bermutu tinggi, serancak mungkin, atas nama peradaban sepakbola demi perdamaian dunia dan menanamkan rasa sportivitas dan penghormatan pada mereka yang terjerembab dalam kekalahan.
Jika United berjaya, maka Barcelona tak perlu berkecil hati, karena mereka dapat bersyukur setidaknya berterima kasih kepada wasit Ovrebo dari Norwegia yang ikut ”membantu” mereka dapat hadir di final.
Sebaliknya jika United terjungkal maka sang arsitek tak perlu terbenam dalam duka karena apa yang telah dicapainya adalah puncak karir, yang sejauh ini dapat mengangkat gelar Sir nya menjadi Lord. Bukankah dua gelar domestik telah mereka raih? Begitu juga dengan kesebelasan dari Katalunya itu.
Partai final tentu bukanlah sirkus, tapi dari sana seharusnya peradaban juga dapat diukur, bagaimana misalnya desainer terkenal Inggris Paul Smith yang terlibat memberi sentuhan gentlemen di kostum kebesaran tandang putih United dicatwalk mereka di Olimpico de Roma. Desainer yang juga memberi kejayaan pada United di podium juara di Moskwa setahun silam. Kata Smith, ”bahagia rasanya melihat kembali kesebelasan luar biasa ini kembali ke podium juara dengan busana yang kembali rancang”.
Sebelas gladiator berseragam merah darah dan biru vertikal akan bertempur mati-matian menghadapi gladiator-gladiator berperawakan besar dari tanah Inggris yang akan mengenakan kostum berwarna putih. Perang yang mewakili dua poros sepakbola Eropa yang nota bene adalah kiblat sepakbola dunia itu akan dipimpin oleh pengadil dari Swiss. Namanya Massimo Busaccha, yang kebetulan juga menjadi pengadil saat Manchester berhadapan dengan Barcelona pada semifinal Champions leg pertama.
Ini adalah pertikaian dua simbol di Eropa, Barcelona mewakili identitas demokrasi rakyat. Sesuai dengan slogan mereka Mes Que Un Club (lebih dari sekadar klub) sebentuk komunitas independen yang menjunjung kemerdekaan (menentang monarki Spanyol), baik secara politik dan kultur.
Barca menentang menggunakan bagian dada dari kostum kebesaran mereka dengan pesan sponsor (bahkan mendukung program bagi anak-anak dunia bekerjasama dengan Unicef), Sementara United bagaimanapun adalah bagian yang integral dari Kerajaan Inggris Raya yang meletakkan sepakbola sebagai bagian dari seni pemasaran.
Namun, apapun istilah yang dikenakan kepada ”perang” impian ini, dan beribu ulasan yang akan membahas skema tunggal yang agresif 4-3-3 yang diusung anak-anak Barca melawan pola 4-4-2 dari Fergie yang bisa sekonyong-konyong berubah menjadi 4-4-1-1.
Final pamungkas ini diharapkan menjadi penghapus dahaga dari tontonan monoton yang diperagakan Manchester ketika bersua klub sepakbola senegaranya, Chelsea tahun lalu dan beberapa laga final Champions sebelumnya.
frOm= antara.co.id
Sejarah Futsal
Bagaimanakah sejarah futsal hingga eksis seperti sekarang?
Tahukah Anda?
Tahukah Anda, apa kesamaan dari pemain-pemain sepakbola terkenal seperti Pele, Ronaldo, Romario, dan Ronaldinho?
- Semua memiliki kemampuan dribel yang mengagumkan (Betul!)
- Semua memiliki umpan akurat (Betul!)
- Semua pemain itu memiliki kreativitas dan intuisi yang hebat dalam bermain sepakbola.
Dan fakta sesungguhnya, kesamaan diantara mereka adalah, mereka mengawali karir sepakbolanya dari bermain Futsal! Dari Futsal inilah kemampuan dribel, keakuratan umpan dan kreativitas mereka terasah dengan baik. Dengan Futsal, mereka terbiasa menghadapi tekanan lawan dalam jarak yang sempit, sehingga mereka terbiasa mengambil keputusan dengan cepat, juga mengharuskan mereka untuk selalu bergerak mencari posisi dan peluang.
Saya mendapat banyak manfaat dari Futsal. Permainan cepat dengan umpan-umpan pendek sungguh berbeda dari sepak bola lapangan besar, sehingga kita harus lebih banyak berpikir dan cepat mengambil keputusan. -Ronaldinho, Pemain Timnas Brasil dan Pemain Terbaik FIFA 2006
Futsal dan Sepak Bola
Saat ini Futsal menjelma menjadi salah satu olah raga yang paling digemari masyarakat Indonesia. Jika kita coba lihat fakta di Google Trends, Indonesia ada di peringkat ke 3 dalam pencarian topik tentang futsal. Dimana urutan pertama dan kedua diduduki oleh Portugal dan Brazil, yang kedua negara ini memang terkenal kuat tradisi sepak bolanya.
Baik dengan kita sadari atau tidak, dari fakta itu kita bisa simpulkan, bahwa animo masyarakat tentang futsal ini sungguh luar biasa. Hanya prestasi futsal Indonesia yang masih kalah jauh dari kedua negara tersebut.
Keberadaan Futsal saat ini tidak bisa dipisahkan begitu saja, karena memang Futsal sendiri memang pengembangan dari Sepak Bola. Futsal ditemukan secara tidak sengaja, oleh seorang pelatih sepak bola yang kesal karena latihan menjadi tidak efektif karena guyuran hujan yang terus menerus. Lalu pelatih memindahkan latihan di tempat indoor / tertutup, jadi aman akan guyuran hujan. Lama-kelamaan, sepak bola indoor ini berkembang menjadi Futsal
Cerita lengkap tentang asal mula Futsal ini bisa dibaca di Asal Mula Futsal
Manchester United Kejar Rossi
MANCHESTER, KOMPAS.com — Manchester United (MU) mulai melebarkan alternatif dalam mencari striker baru. Klub berjuluk "Setan Merah" itu kini mengincar striker Villarreal, Giuseppe Rossi.
Dalam kontraknya, pemain berumur 22 tahun ini memiliki klausul bahwa MU punya hak untuk menolak penjualan Rossi ke klub lain. Ini bisa dilakukan jika MU yang masih punya andil dalam diri Rossi membutuhkannya.
Pada hari-hari ini, Rossi diincar beberapa klub di Italia. Maka, MU terus memonitor perkembangan dan kemungkinan akan membawanya kembali ke Old Trafford. Kabar itu disampaikan The Daily Star.
Rossi bergabung dengan MU pada 2005, saat usianya masih 17 tahun. Namun, dia hanya bermain lima kali dan mencetak satu gol. Dia sempat dipinjamkan ke Newcastle United dan Parma.
Dia kemudian mencoba keberuntungan di Liga Spanyol, bergabung dengan Villarreal pada 2007. Rossi sukses bersama "The Yellow Submarines", hingga dia dipanggil timnas Italia.
Dengan perginya Carlos Tevez dan Cristiano Ronaldo, MU memang sangat butuh pemain depan. Maka, wajar jika manajer Sir Alex Ferguson kembali melirik mantan pemainnya, Giuseppe Rossi.
Villarreal kemungkinan agak berat melepaskan Rossi pergi. Namun, daripada ditinggalkan Rossi saat dia berstatus bebas, Villarreal kemungkinan melepaskannya ke MU dengan masih mendapat kompensasi 15 juta euro (sekitar Rp 216,3 miliar).
KOMPAS.COM
Sepuluh Kiper Terbaik Sepanjang Sejarah Sepak Bola
Setelah Claudio Taffarel, Dida menjadi kiper baru asal Brasil yang diperhitungkan dalam dunia sepakbola. Hal itu terbukti saat dirinya menjadi kiper pertama dari tim Samba yang termasuk dalam kandidat peraih Ballon d'Or di tahun 2003 dan 2005.
Biarpun Dida telah memenangkan Piala Dunia bersama Brasil, dan berbagai gelar domestik & internasional bersama AC Milan, sayangnya ia juga dikenal akibat beberapa insiden yang kurang baik. Yang terakhir adalah saat ia pura-pura jatuh dan terluka saat disentuh oleh seorang suporter Glasgow Celtic di pertandingan Liga Champions.
2. Dino Zoff (Italia)
Piala Dunia 1982 menjadi puncak prestasi Zoff. Di usianya yang ke-40, ia menjadi pemain tertua yang memenangkan Piala Dunia. Selain itu, ia juga menjadi kiper kedua yang menjadi kapten di tim yang juara, dan juga terpilih menjadi kiper terbaik.
Padahal di awal karirnya, ia sempat ditolak oleh Inter Milan dan Juventus karena dianggap kurang tinggi. Di jajak pendapat untuk mencari kiper terbaik di abad ke-20 yang dilaksanakan oleh Federasi Internasional Statistik dan Sejarah Sepakbola (IFFHS), Zoff berada di posisi ketiga di bawah Lev Yashin (Uni Soviet) dan Gordon Banks (Inggris).
3. Edwin van der Sar (Belanda)
Saat van der Sar memblok tendangan Nicolas Anelka di final Liga Champions, ia benar-benar menjadi momok bagi pemain Chelsea saat adu penalti. Hal itu karena di ajang Community Shield sebelumnya, ia juga telah melakukan hal yang sama dengan menepis semua tendangan penalti yang dilakukan pemain The Blues.
Van der Sar menjadi pemain yang paling banyak membela tim nasional Belanda dengan tampil sebanyak 128 kali dan akhirnya pensiun setelah Euro 2008. Ia juga mencatatkan dirinya sebagai kiper yang menjuarai Liga Champions bersama dua klub yang berbeda, yaitu Ajax Amsterdam dan Manchester United.
4. Gianluigi Buffon (Italia)
Nilai transfer yang menjadikannya kiper termahal di dunia menjadi bukti kepiawaian Buffon (foto) menjaga gawang di lapangan hijau. Selain itu, sederet gelar individual yang diraihnya dari berbagai pihak juga menjadi jaminan atas kemampuannya.
Saat di Piala Dunia 2006, gawangnya tidak tertembus satu gol pun selama 453 menit hingga akhirnya Azzurri menjadi juara dan Buffon mendapatkan Lev Yashin Award sebagai kiper terbaik selama turnamen tersebut.
5. Gordon Banks (Inggris)
Banks menjadi pilihan pertama manajer Inggris Sir Alf Ramsey saat Three Lions menjuarai Piala Dunia 1966. Namun, ia baru menjadi legenda di dunia sepakbola lewat tindakan yang dilakukannya empat tahun kemudian di Piala Dunia Meksiko.
Saat Inggris bertanding melawan Brasil, Pele menanduk bola ke tiang jauh gawang Inggris sambil berteriak "Gol!". Hal itu dilakukannya karena ia sangat yakin Banks tidak dapat menyelamatkan gawangnya.
Tetapi Banks yang berada dalam posisi yang salah, berhasil melompat ke arah yang berlawanan dan menyentuh bola tersebut dengan sebagian ibu jarinya hingga bola itu mental melewati mistar gawang.
Sang kiper tahu ia dapat menyentuh bola, namun berpikir bolanya masih melewati garis gawang. Ia baru sadar tidak terjadi gol setelah mendengar sambutan dari penonton di stadion dan diselamati oleh kapten Bobby Moore. Pele sendiri mengatakan kalau penyelamatan yang dilakukan Banks tersebut adalah yang terhebat yang pernah ia saksikan.
6. Iker Casillas (Spanyol)
Ia baru berusia 27 tahun, tetapi telah tampil lebih dari 300 kali bagi Real Madrid dan menjadi kiper kedua yang bermain paling banyak bagi tim nasional Spanyol setelah Andoni Zubizarreta. Saat Spanyol menjuarai Euro 2008, Casillas menjadi kiper pertama yang menjadi kapten di tim juara turnamen Eropa.
Walaupun ia baru bermain di tim senior Madrid sejak 1999, ia kelihatannya selalu menjadi pilihan pertama Los Merengues di bawah mistar. Di usianya yang ke-19, Casillas menjadi kiper paling muda yang tampil di final Liga Champions saat Madrid mengalahkan Valencis 3-0.
7. Lev Yashin (Uni Soviet)
Pemain legendaris ini merupakan kiper yang berada di urutan paling atas dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh IFFHS. Yashin terpilih berkat kemampuan atletisnya dan juga postur tubuhnya yang membuat gentar para pemain penyerang lawan.
Ia mendapat julukan Laba-Laba Hitam karena selalu mengenakan kostum hitam dan juga karena keahliannya menepis tembakan lawan seolah-olah membuatnya memiliki delapan tangan.
Pemakaian namanya oleh FIFA untuk penghargaan bagi kiper terbaik di setiap Piala Dunia merupakan pengakuan insan sepakbola dunia terhadap prestasinya.
8. Peter Schmeichel (Denmark)
Tinggi besar, rambut pirang, dan hidung merah. Tiga hal tersebut adalah hal yang selalu tampil di ingatan bila nama Schmeichel disebut. Namun bagi para striker yang menjadi lawan Manchester United dan tim nasional Denmark, The Great Dane itu menjadi tembok raksasa yang tak dapat ditembus.
Tingkat refleksnya yang mengagumkan bagi orang seukuran dia, serta kemampuannya mengubah pertahanan menjadi penyerangan langsung lewat lemparan jauhnya ke para penyerang, menjadi salah satu alasan utama mengapa United menjadi tim yang mendominasi Liga Primer Inggris di era 90an.
9. Petr Cech (Republik Ceko)
Ketika Chelsea menjadi juara Liga Primer selama dua kali berturut-turut, banyak pihak menganggap itu adalah akibat dari tangan dingin Jose Mourinho. Tetapi yang berada di bawah mistar The Blues adalah Cech, yang baru dibeli dari Rennes dan tadinya akan dijadikan cadangan Carlo Cudicini.
Saat Cech harus absen selama tiga bulan akibat benturan dengan pemain Reading Stephen Hunt, Chelsea gagal mempertahankan gelar Liga Primer. Insiden tersebut membuat Cech harus mengenakan pelindung kepala hingga sekarang.
Cech menjadi kiper terbaik 2008 pilihan UEFA, dan walaupun sempat membuat blunder di Euro 2008 saat melawan Turki, ia tetap menjadi pilihan pertama di tim nasional Republik Ceko dan juga Stamford Bridge.
10. Rinat Dasayev (Uni Soviet)
Bila tidak ada trio Belanda Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten, bisa jadi tim Uni Soviet yang akan menjadi juara di Euro 1988. Dasayev tampil cemerlang selama berlangsungnya turnamen di Jerman, dan hanya Gullit dan tendangan volley van Basten yang mampu mematahkan perlawanan Soviet di final.
Dasayev yang dijuluki "Tirai Besi" dianggap sebagai kiper terbaik kedua di Rusia setelah Yashin. Ia tampil di tiga Piala Dunia dan bermain sebanyak 91 kali bagi tim nasional Soviet hingga pensiun di tahun 1990.
Terakhir ia tampil di Luzhniki Stadium saat final Liga Champions Mei lalu dengan membawa piala tersebut ke lapangan. Hal itu berkaitan dengan tugasnya sebagai duta final itu di Moskwa.